Kamis, 30 Januari 2014

(Cerita Mini) Kegelapan

                Ini kali pertama Raka mengajak Luna jalan. Kencan, mungkin? Meskipun mereka telah meresmikan hubungan di antara mereka, kesibukan Raka sebagai calon pewaris tunggal perusahaan ayahnya tak dapat terhindarkan. Taman Aquatic menjadi saksi kebersamaan mereka kali ini.
"Kenapa kau selalu memakai sweater itu?" Raka mulai membuka pembicaraan.
"Hanya untuk fashion." Jawab Luna sekenanya.
"Bahkan di musim panas begini?" Tanya Raka.
"Hmm.." Luna hanya bergumam dan mengangguk pelan.
"Dengan warna hitam?"
"Itu menjelaskan semuanya. Dunia ini tak lain hanyalah kegelapan yang telah bermutasi. Kelak, aku akan kembali pada kegelapan itu. Ka,.. " Raka menatap Luna. Namun, Ia hanya tersenyum.

            Selama Raka mengenal Luna, ia selalu melihat Luna memakai sweater hitam yang sama setiap harinya. Padahal jika diperhatikan, tak ada yang spesial dari sweater itu. Dan jawaban yang diberikan Luna beberapa saat yang lalu terasa aneh. Tak pernah Luna berbicara dengan sarat makna seperti itu. Kegelapan, Raka sendiri meragukan hal itu.
*****
            Pagi ini, Raka mendapati sebuah kotak di depan rumahnya. Tanpa embel-embel. Tanpa nama pengirim. Dibukanya kotak itu dan matanya terbelalak. Isinya sweater, yang ia sangat kenali. Luna. Di genggamnya sweater milik gadis itu yang telah dilumuri darah. Bau anyir jelas merebak ke seluruh ruangan. Hening.



aku telah kembali pada kegelapan.

(Cerita Mini) Ritual

Crash...
Sekali lagi, ku goreskan pedang pada kulit porselen-nya. Ku ukir sayatan indah bersanding dengan sakit tak terbayang. Tak peduli onggokan ini Dewa sekalipun, ku kan tetap lakukan hal yang sama. Menginjak tangan remukkan tulang. Haus akan darah ciptakan siksa. Terakhir, ku tusukkan cenangkas dalam-dalam melalui ubun-ubunnya. Hingga teriakan dan permohonan tak lagi ku dengar. Bukan pembunuhan, ini tarian selamat datang.

*****

Ku langkahkan kaki menyusuri lorong-lorong hampa. Bersiap untuk menghadapnya, Malaikat penyelamatku. Ditemani sebatang parafin yang berpijar. Keremangan mulai berkumpul menghangatkanku. Mengusik kegelapan yang sudah menjadi bagian dari jiwaku. Yang terpenting, tak peduli seberapa dalam kini aku menyelam, ku putuskan hidup hanya untuknya. Mengabdi pada dunia kelam yang tak berujung.

Aku telah terjerat, pada mata merahnya yang dikata menakutkan. Aku terpukau, pada obsesinya akan pancaran kirana alkana padat yang anehnya tak pernah padam. Aku suka dengannya, dan segala keanehan di sekitarnya. Meski di sini terang tak akan mengalahkan gelap. Aku tetap ingin menjadi layaknya batangan pemercik itu baginya, sampai kapanpun.

Ku letakkan gundukan daging di bahuku ke hadapannya,
"Persembahanku untukmu, Tuan."

Seketika itu dengan jetikan jarinya, satu per satu penerangan yang ada dalam ruangan itu menyala. Berderet rapi merupa tengkorak dengan tawa nista

akan dimulai, ritual kematian.

(Sintya Chalifia Azizah)


(Cerita Pendek) Metamorfosa Hidup Dira

Hidup ini penuh perjuangan. Kalimat itulah yang sedari dulu ia tanamkan di benakku. Hingga kini mengalir dalam setiap tetes bulir darahku. Aku dilahirkan menjadi anak semata wayang. Entah itu suratan takdir atau hanya kebetulan. Dira, nama yang ia beri padaku. Sepotong kata dari tembung kawi yang berarti kukuh. Diharapkannya aku menjadi sosok yang kuat di balik kekuranganku saat ini, tak dapat berjalan. Hanya kursi roda butut yang selalu setia menemaniku.

"Apa Tuhan benar-benar adil?" Sekelebat pertanyaan yang selalu terngiang-ngiang setiap malam. Di tengah terpaan lembut cahaya bintang dan bulan.

            Selama ini, ku jalani hari-hari dengan tinggal dalam gubuk tak berjendela, bersekat bambu yang mulai dimakan usia, beratapkan daun dan beralaskan tanah. Ini yang ku sebut rumah, tempatku pulang. Merindu kenangan.

            Semenjak ia pergi, aku tak lagi merasakan asiknya bersekolah. Jangankan sekolah, untuk makan saja susah. Daya juang, satu-satunya modal yang ku andalkan. Aku belajar dari jalanan. Guru-ku adalah pengalaman. Mencoba bertahan, di antara kejamnya dunia dan kenyataan.

            Pada sabtu sore, biasanya aku pergi ke Taman Impian untuk bertemu satu-satunya temanku, Ravi namanya. Ravi adalah pendengar yang baik dan penyemangat yang ampuh. Dua hal ini sudah sangat berarti bagiku.

            Perjalananku ke taman beberapa hari yang lalu tak semulus seperti biasanya. Tak sengaja aku menabrak seorang bapak berkepala botak. Dan keramik yang dipegangnya terjatuh. Pyarr..

"Bocah sialan!" Begitu umpatnya.
"Maaf..." Sudah sewajarnya aku untuk meminta maaf bukan?
"Maaf, maaf. Tak pernah diajarin sopan santun sama orang tua ya?" Ucapnya dengan nada membentak. Tangannya bergerak memungut pecahan keramik yang berserahkan.
"..." Aku diam menunggu reaksi bapak itu selanjutnya.
"Sini, kasih tahu mana rumah kamu! Saya bilangin ke orang tua kamu. Ini barang mahal, tahu!" Cercanya lagi. Ku amati kartu identitas yang terpasang di saku bajunya.
"Bapak ini....guru kan? Saya sudah meminta maaf kepada bapak tadi dan maaf juga, karna kaki saya saja tak dapat digerakkan. Jadi bagaimana saya membantu bapak memungut pecahan keramik itu? Bapak malah bentak-bentak saya! Sebenarnya yang tidak tahu sopan santun itu saya atau bapak?" Aku tak dapat lagi menahan emosiku.
"Jangan kurang ajar ya!" Bentakan yang satu ini terdengar lebih kasar dari yang sebelumnya.
"Dengan usia bapak yang lebih tua dan status yang lebih tinggi, bukan berarti bapak bisa seenaknya."
"Kamu ini anak kecil gak tau apa-apa!"
"Cih. Begini saja, kalau bapak marah-marah terus yang ada darah tinggi naik dan bapak cepat mati." Ucapku sinis.

            Bapak itu malangkah pergi tak meladeni ucapanku lagi. Mungkin lelah? Entah. Yang jelas begini lebih baik. Kulanjutkan putaran roda ke Taman Impian. Di saat yang seperti ini, aku benar-benar butuh teman. Syukurlah Ravi, tinggal berjarak 3 meter dari tempatku sekarang.

"Hai, Dira.." Ravi menyapaku dengan senyum.
"Apa?" Ravi yang ku kenal tidak suka berbasa-basi. Jadi kalau dia tersenyum saja. Pasti ada sesuatu yang mencurigakan.
"Tidak. Hanya saja aku melihat seorang perempuan berkursi roda berseteru dengan pria berkepala botak." Dia tahu. Dia melihatku tadi.
"Ck, hanya perselisihan biasa." Ucapku asal.
"Yakin?"

            Aku terdiam. Ravi juga sepertinya tak tertarik untuk memancingku lagi. Kami berjalan menuju salah satu bangku bercat putih. Mencari tempat duduk untuknya, ya tentu saja karna aku sudah memiliki kursiku sendiri.

"Rav, apa aku salah memperjuangkan hak-ku?" Kataku lirih.
"Hak yang seperti apa dulu?"
"Kesamaan di mata orang lain."
"Tidak juga. Itu salah satu dari berjuta banyak pilihan. Ke arah lebih baik atau buruk. Ya meskipun tiap-tiap itu punya konsekuensi tersendiri." Jelas Ravi. Aku tahu, dia berbeda dari anak-anak seumurannya.
"Lama-lama aku pikir, perjuangan yang ia tanamkan padaku malah merubahku menjadi keras kepala dan ingin menang sendiri." Kuputuskan untuk membuka mulut tentang ini.
"Semua itu pasti ada sisi negatifnya. Tinggal bagaimana cara kita meminimalisirnya." Aku pikir, di saat seperti ini Ravi benar-benar mengagumkan.

            Sedikit lebih ringan. Itu yang ku rasakan setelah selesai mengutarakan pikiran dengan Ravi. Meskipun begitu, aku belum puas. Kali ini, aku ingin sekali pergi ke tempat itu. Aku rindu. Ku gerakkan kursi roda lebih cepat. Berharap sampai tujuan sebelum hari kian gelap.

            Ia, orang yang menggagas perjuangan dalam hidupku. Ia yang berharap aku tumbuh menjadi sosok yang kuat. Ia yang akan selalu menyayangiku dan aku selalu menyayanginya. Ia yang sangat aku rindukan. Ibuku. Aku ingin menemuinya.

Sesampainya di pusara dengan tanah yang terlihat rata. Ditumbuhi rumput dan bertabur bunga kamboja. Ku panjatkan doa-doa pada yang Maha Kuasa. Ku tenangkan pikiran sejenak, melayang berangan-angan. Andai saja, semua tidak seperti ini. Tak lama, aku kebali tersentak. Bukankah jika aku berpikir seperti itu sama saja aku mengutuk Tuhan? Apa kematian dan hubungannya dengan takdir benar-benar ada? Entahlah. Aku masih mencari.

"Selama ini, aku berusaha berjuang seperti yang ibunda inginkan. Semuanya, ku persembahkan hanya untuk kebahagiaanmu, ibu. Termasuk kejadian tadi. Aku hanya ingin hak-ku." Batinku.
"Semoga engkau bahagia di sana, ibu…” Ucapku seraya memeluk nisan yang terlihat kusam. Air mata tak dapat lagi kutahan. Menyakitkan.

(Sintya Chalifia Azizah)

Translate