Hidup ini penuh perjuangan. Kalimat
itulah yang sedari dulu ia tanamkan di benakku. Hingga kini mengalir dalam
setiap tetes bulir darahku. Aku dilahirkan menjadi anak semata wayang. Entah
itu suratan takdir atau hanya kebetulan. Dira, nama yang ia beri padaku.
Sepotong kata dari tembung kawi yang berarti kukuh. Diharapkannya aku menjadi
sosok yang kuat di balik kekuranganku saat ini, tak dapat berjalan. Hanya kursi
roda butut yang selalu setia menemaniku.
"Apa Tuhan benar-benar adil?"
Sekelebat pertanyaan yang selalu terngiang-ngiang setiap malam. Di tengah
terpaan lembut cahaya bintang dan bulan.
Selama
ini, ku jalani hari-hari dengan tinggal dalam gubuk tak berjendela, bersekat
bambu yang mulai dimakan usia, beratapkan daun dan beralaskan tanah. Ini yang
ku sebut rumah, tempatku pulang. Merindu kenangan.
Semenjak
ia pergi, aku tak lagi merasakan asiknya bersekolah. Jangankan sekolah, untuk
makan saja susah. Daya juang, satu-satunya modal yang ku andalkan. Aku belajar
dari jalanan. Guru-ku adalah pengalaman. Mencoba bertahan, di antara kejamnya
dunia dan kenyataan.
Pada
sabtu sore, biasanya aku pergi ke Taman Impian untuk bertemu satu-satunya
temanku, Ravi namanya. Ravi adalah pendengar yang baik dan penyemangat yang
ampuh. Dua hal ini sudah sangat berarti bagiku.
Perjalananku
ke taman beberapa hari yang lalu tak semulus seperti biasanya. Tak sengaja aku
menabrak seorang bapak berkepala botak. Dan keramik yang dipegangnya terjatuh. Pyarr..
"Bocah sialan!" Begitu
umpatnya.
"Maaf..." Sudah sewajarnya aku
untuk meminta maaf bukan?
"Maaf, maaf. Tak pernah diajarin
sopan santun sama orang tua ya?" Ucapnya dengan nada membentak. Tangannya
bergerak memungut pecahan keramik yang berserahkan.
"..." Aku diam menunggu reaksi
bapak itu selanjutnya.
"Sini, kasih tahu mana rumah kamu!
Saya bilangin ke orang tua kamu. Ini barang mahal, tahu!" Cercanya lagi.
Ku amati kartu identitas yang terpasang di saku bajunya.
"Bapak ini....guru kan? Saya sudah
meminta maaf kepada bapak tadi dan maaf juga, karna kaki saya saja tak dapat
digerakkan. Jadi bagaimana saya membantu bapak memungut pecahan keramik itu?
Bapak malah bentak-bentak saya! Sebenarnya yang tidak tahu sopan santun itu
saya atau bapak?" Aku tak dapat lagi menahan emosiku.
"Jangan kurang ajar ya!"
Bentakan yang satu ini terdengar lebih kasar dari yang sebelumnya.
"Dengan usia bapak yang lebih tua
dan status yang lebih tinggi, bukan berarti bapak bisa seenaknya."
"Kamu ini anak kecil gak tau
apa-apa!"
"Cih. Begini saja, kalau bapak
marah-marah terus yang ada darah tinggi naik dan bapak cepat mati." Ucapku
sinis.
Bapak
itu malangkah pergi tak meladeni ucapanku lagi. Mungkin lelah? Entah. Yang
jelas begini lebih baik. Kulanjutkan putaran roda ke Taman Impian. Di saat yang
seperti ini, aku benar-benar butuh teman. Syukurlah Ravi, tinggal berjarak 3
meter dari tempatku sekarang.
"Hai, Dira.." Ravi menyapaku
dengan senyum.
"Apa?" Ravi yang ku kenal
tidak suka berbasa-basi. Jadi kalau dia tersenyum saja. Pasti ada sesuatu yang
mencurigakan.
"Tidak. Hanya saja aku melihat
seorang perempuan berkursi roda berseteru dengan pria berkepala botak."
Dia tahu. Dia melihatku tadi.
"Ck, hanya perselisihan
biasa." Ucapku asal.
"Yakin?"
Aku
terdiam. Ravi juga sepertinya tak tertarik untuk memancingku lagi. Kami
berjalan menuju salah satu bangku bercat putih. Mencari tempat duduk untuknya,
ya tentu saja karna aku sudah memiliki kursiku sendiri.
"Rav, apa aku salah memperjuangkan
hak-ku?" Kataku lirih.
"Hak yang seperti apa dulu?"
"Kesamaan di mata orang lain."
"Tidak juga. Itu salah satu dari
berjuta banyak pilihan. Ke arah lebih baik atau buruk. Ya meskipun tiap-tiap
itu punya konsekuensi tersendiri." Jelas Ravi. Aku tahu, dia berbeda dari
anak-anak seumurannya.
"Lama-lama aku pikir, perjuangan
yang ia tanamkan padaku malah merubahku menjadi keras kepala dan ingin menang
sendiri." Kuputuskan untuk membuka mulut tentang ini.
"Semua itu pasti ada sisi
negatifnya. Tinggal bagaimana cara kita meminimalisirnya." Aku pikir, di
saat seperti ini Ravi benar-benar mengagumkan.
Sedikit
lebih ringan. Itu yang ku rasakan setelah selesai mengutarakan pikiran dengan
Ravi. Meskipun begitu, aku belum puas. Kali ini, aku ingin sekali pergi ke
tempat itu. Aku rindu. Ku gerakkan kursi roda lebih cepat. Berharap sampai
tujuan sebelum hari kian gelap.
Ia,
orang yang menggagas perjuangan dalam hidupku. Ia yang berharap aku tumbuh
menjadi sosok yang kuat. Ia yang akan selalu menyayangiku dan aku selalu
menyayanginya. Ia yang sangat aku rindukan. Ibuku. Aku ingin menemuinya.
Sesampainya di pusara dengan tanah yang
terlihat rata. Ditumbuhi rumput dan bertabur bunga kamboja. Ku panjatkan
doa-doa pada yang Maha Kuasa. Ku tenangkan pikiran sejenak, melayang
berangan-angan. Andai saja, semua tidak seperti ini. Tak lama, aku kebali
tersentak. Bukankah jika aku berpikir seperti itu sama saja aku mengutuk Tuhan?
Apa kematian dan —hubungannya— dengan takdir
benar-benar ada? Entahlah. Aku masih mencari.
"Selama
ini, aku berusaha berjuang seperti yang ibunda inginkan. Semuanya, ku
persembahkan hanya untuk kebahagiaanmu, ibu. Termasuk kejadian tadi. Aku hanya
ingin hak-ku." Batinku.
"Semoga engkau bahagia di sana,
ibu…” Ucapku seraya memeluk nisan yang terlihat kusam. Air mata tak dapat lagi
kutahan. Menyakitkan.
(Sintya Chalifia Azizah)