Crash...
Sekali
lagi, ku goreskan pedang pada kulit porselen-nya. Ku ukir sayatan indah
bersanding dengan sakit tak terbayang. Tak peduli onggokan ini Dewa sekalipun,
ku kan tetap lakukan hal yang sama. Menginjak tangan remukkan tulang. Haus akan
darah ciptakan siksa. Terakhir, ku tusukkan cenangkas dalam-dalam melalui
ubun-ubunnya. Hingga teriakan dan permohonan tak lagi ku dengar. Bukan
pembunuhan, ini tarian selamat datang.
*****
Ku
langkahkan kaki menyusuri lorong-lorong hampa. Bersiap untuk menghadapnya,
Malaikat penyelamatku. Ditemani sebatang parafin yang berpijar. Keremangan mulai
berkumpul menghangatkanku. Mengusik kegelapan yang sudah menjadi bagian dari
jiwaku. Yang terpenting, tak peduli seberapa dalam kini aku menyelam, ku
putuskan hidup hanya untuknya. Mengabdi pada dunia kelam yang tak berujung.
Aku
telah terjerat, pada mata merahnya yang dikata menakutkan. Aku terpukau, pada
obsesinya akan pancaran kirana alkana padat yang anehnya tak pernah padam. Aku
suka dengannya, dan segala keanehan di sekitarnya. Meski di sini terang tak
akan mengalahkan gelap. Aku tetap ingin menjadi layaknya batangan pemercik itu
baginya, sampai kapanpun.
Ku
letakkan gundukan daging di bahuku ke hadapannya,
"Persembahanku
untukmu, Tuan."
Seketika
itu dengan jetikan jarinya, satu per satu penerangan yang ada dalam ruangan itu
menyala. Berderet rapi merupa tengkorak dengan tawa nista—
—akan dimulai, ritual kematian.
(Sintya Chalifia Azizah)
0 komentar:
Posting Komentar