Kamis, 30 Januari 2014

(Cerita Pendek) Metamorfosa Hidup Dira

Hidup ini penuh perjuangan. Kalimat itulah yang sedari dulu ia tanamkan di benakku. Hingga kini mengalir dalam setiap tetes bulir darahku. Aku dilahirkan menjadi anak semata wayang. Entah itu suratan takdir atau hanya kebetulan. Dira, nama yang ia beri padaku. Sepotong kata dari tembung kawi yang berarti kukuh. Diharapkannya aku menjadi sosok yang kuat di balik kekuranganku saat ini, tak dapat berjalan. Hanya kursi roda butut yang selalu setia menemaniku.

"Apa Tuhan benar-benar adil?" Sekelebat pertanyaan yang selalu terngiang-ngiang setiap malam. Di tengah terpaan lembut cahaya bintang dan bulan.

            Selama ini, ku jalani hari-hari dengan tinggal dalam gubuk tak berjendela, bersekat bambu yang mulai dimakan usia, beratapkan daun dan beralaskan tanah. Ini yang ku sebut rumah, tempatku pulang. Merindu kenangan.

            Semenjak ia pergi, aku tak lagi merasakan asiknya bersekolah. Jangankan sekolah, untuk makan saja susah. Daya juang, satu-satunya modal yang ku andalkan. Aku belajar dari jalanan. Guru-ku adalah pengalaman. Mencoba bertahan, di antara kejamnya dunia dan kenyataan.

            Pada sabtu sore, biasanya aku pergi ke Taman Impian untuk bertemu satu-satunya temanku, Ravi namanya. Ravi adalah pendengar yang baik dan penyemangat yang ampuh. Dua hal ini sudah sangat berarti bagiku.

            Perjalananku ke taman beberapa hari yang lalu tak semulus seperti biasanya. Tak sengaja aku menabrak seorang bapak berkepala botak. Dan keramik yang dipegangnya terjatuh. Pyarr..

"Bocah sialan!" Begitu umpatnya.
"Maaf..." Sudah sewajarnya aku untuk meminta maaf bukan?
"Maaf, maaf. Tak pernah diajarin sopan santun sama orang tua ya?" Ucapnya dengan nada membentak. Tangannya bergerak memungut pecahan keramik yang berserahkan.
"..." Aku diam menunggu reaksi bapak itu selanjutnya.
"Sini, kasih tahu mana rumah kamu! Saya bilangin ke orang tua kamu. Ini barang mahal, tahu!" Cercanya lagi. Ku amati kartu identitas yang terpasang di saku bajunya.
"Bapak ini....guru kan? Saya sudah meminta maaf kepada bapak tadi dan maaf juga, karna kaki saya saja tak dapat digerakkan. Jadi bagaimana saya membantu bapak memungut pecahan keramik itu? Bapak malah bentak-bentak saya! Sebenarnya yang tidak tahu sopan santun itu saya atau bapak?" Aku tak dapat lagi menahan emosiku.
"Jangan kurang ajar ya!" Bentakan yang satu ini terdengar lebih kasar dari yang sebelumnya.
"Dengan usia bapak yang lebih tua dan status yang lebih tinggi, bukan berarti bapak bisa seenaknya."
"Kamu ini anak kecil gak tau apa-apa!"
"Cih. Begini saja, kalau bapak marah-marah terus yang ada darah tinggi naik dan bapak cepat mati." Ucapku sinis.

            Bapak itu malangkah pergi tak meladeni ucapanku lagi. Mungkin lelah? Entah. Yang jelas begini lebih baik. Kulanjutkan putaran roda ke Taman Impian. Di saat yang seperti ini, aku benar-benar butuh teman. Syukurlah Ravi, tinggal berjarak 3 meter dari tempatku sekarang.

"Hai, Dira.." Ravi menyapaku dengan senyum.
"Apa?" Ravi yang ku kenal tidak suka berbasa-basi. Jadi kalau dia tersenyum saja. Pasti ada sesuatu yang mencurigakan.
"Tidak. Hanya saja aku melihat seorang perempuan berkursi roda berseteru dengan pria berkepala botak." Dia tahu. Dia melihatku tadi.
"Ck, hanya perselisihan biasa." Ucapku asal.
"Yakin?"

            Aku terdiam. Ravi juga sepertinya tak tertarik untuk memancingku lagi. Kami berjalan menuju salah satu bangku bercat putih. Mencari tempat duduk untuknya, ya tentu saja karna aku sudah memiliki kursiku sendiri.

"Rav, apa aku salah memperjuangkan hak-ku?" Kataku lirih.
"Hak yang seperti apa dulu?"
"Kesamaan di mata orang lain."
"Tidak juga. Itu salah satu dari berjuta banyak pilihan. Ke arah lebih baik atau buruk. Ya meskipun tiap-tiap itu punya konsekuensi tersendiri." Jelas Ravi. Aku tahu, dia berbeda dari anak-anak seumurannya.
"Lama-lama aku pikir, perjuangan yang ia tanamkan padaku malah merubahku menjadi keras kepala dan ingin menang sendiri." Kuputuskan untuk membuka mulut tentang ini.
"Semua itu pasti ada sisi negatifnya. Tinggal bagaimana cara kita meminimalisirnya." Aku pikir, di saat seperti ini Ravi benar-benar mengagumkan.

            Sedikit lebih ringan. Itu yang ku rasakan setelah selesai mengutarakan pikiran dengan Ravi. Meskipun begitu, aku belum puas. Kali ini, aku ingin sekali pergi ke tempat itu. Aku rindu. Ku gerakkan kursi roda lebih cepat. Berharap sampai tujuan sebelum hari kian gelap.

            Ia, orang yang menggagas perjuangan dalam hidupku. Ia yang berharap aku tumbuh menjadi sosok yang kuat. Ia yang akan selalu menyayangiku dan aku selalu menyayanginya. Ia yang sangat aku rindukan. Ibuku. Aku ingin menemuinya.

Sesampainya di pusara dengan tanah yang terlihat rata. Ditumbuhi rumput dan bertabur bunga kamboja. Ku panjatkan doa-doa pada yang Maha Kuasa. Ku tenangkan pikiran sejenak, melayang berangan-angan. Andai saja, semua tidak seperti ini. Tak lama, aku kebali tersentak. Bukankah jika aku berpikir seperti itu sama saja aku mengutuk Tuhan? Apa kematian dan hubungannya dengan takdir benar-benar ada? Entahlah. Aku masih mencari.

"Selama ini, aku berusaha berjuang seperti yang ibunda inginkan. Semuanya, ku persembahkan hanya untuk kebahagiaanmu, ibu. Termasuk kejadian tadi. Aku hanya ingin hak-ku." Batinku.
"Semoga engkau bahagia di sana, ibu…” Ucapku seraya memeluk nisan yang terlihat kusam. Air mata tak dapat lagi kutahan. Menyakitkan.

(Sintya Chalifia Azizah)

1 komentar:

Anhar Tasman mengatakan...

Cerpen yang bagus, coba kirim aja ke penerbit


kunjungi balik ya http://kursusmembuatgame.com

Posting Komentar

Translate